Nationalgeographic.co.id—Kekaisaran Romawi menjadi salah satu kekaisaran terhebat dalam sejarah. Wilayahnya membentang dari Eropa, Asia hingga Afrika. Sebagian sisa-sisa kota Romawi masih bisa kita nikmati saat ini. Namun ada satu kota yang lenyap terkubur dan terlupakan selama seribu tahun setelah mengalami masa keemasan. Terletak di benua Afrika, Thamugadi merupakan kota Romawi yang tersembunyi di bawah hamparan pasir Sahara.
Didirikan oleh Kaisar Trajan sekitar tahun 100 Masehi, Thamugadi ini juga dikenal sebagai Timgad atau Tamugas. Kota ini terletak di provinsi Mumidia, Afrika Utara.
Rumah bagi para veteran Legiun Augustan Ketiga, Thamugadi berkembang selama ratusan tahun. “Dengan cepat, kota ini makin makmur sehingga menjadi target yang menarik bagi para perampok,” tutur Rubén Montoya di laman National Geographic.
Setelah invasi Vandal pada tahun 430, serangan berulang kali melemahkan pos terdepan Romawi di Afrika. Kota yang sempat jaya itu tidak dapat pulih seperti sedia kala dan ditinggalkan selama tahun 700-an.
Pasir gurun menyapu dan mengubur Thamugadi. Seribu tahun berlalu Thamugaldi ditemukan tim penjelajah Skotlandia pada tahun 1700-an.
Konsul yang memiliki rasa ingin tahu tinggi
Bangsawan Skotlandia James Bruce menjabat sebagai konsul Inggris di kota pesisir Aljir (sekarang ibu kota Aljazair) pada tahun 1763. Ia dikenal karena karena penemuannya tentang sumber Nil Biru di Ethiopia.
Bruce memiliki rasa ingin tahu yang sangat besar. Sebelum kedatangannya di Aljazair, ia menghabiskan beberapa bulan di Italia untuk mempelajari sejarah kawasan Afrika. Termasuk peranan Afrika di zaman kuno.
Sayangnya, ia bersilang pendapat dengan atasannya. Bentrokan tidak dapat dihindari sehingga ia pun dipecat. Setelah kehilangan jabatannya pada 1765, alih-alih kembali ke tanah air, ia melanjutkan petualangannya melintasi Afrika. Bersama seniman Luigi Balugani, keduanya membuat catatan dan membuat ilustrasi yang menggambarkan tempat dan orang yang dijumpai.
Pencarian jejak peradaban kuno
Di awal pengembaraan, mereka melakukan perjalanan ke selatan menuju gurun Aljazair untuk mencari jejak peradaban kuno. Bruce dan Balugani menemukan beberapa reruntuhan Romawi saat menjelajahi bagian-bagian yang lebih terpencil di wilayah itu.
Pada 12 Desember 1765, mereka mencapai wilayah yang disebut Thamugadi. Banyak yang percaya bahwa kedua penjelajah ini merupakan orang Eropa pertama dalam berabad-abad yang mengunjungi situs tersebut. Situs Thamugadi berada di lereng utara pegunungan Aurs.
“Ini adalah kota kecil, tetapi penuh dengan bangunan yang elegan,” tulis Bruce dalam buku hariannya. Dia yakin bahwa reruntuhan ini adalah sisa-sisa kota yang didirikan oleh Trajan lebih dari satu milenium sebelumnya.
Pada hari pertama, Bruce merekam dan Balugani menggambar “lengkungan kemenangan” Trajan. Mereka kembali keesokan harinya untuk melanjutkan penjelajahan dan mengidentifikasi sebuah amfiteater.
Bruce membersihkan pasir dan menemukan patung kaisar Romawi Antoninus Pius, dan istrinya, Faustina. Baginya, karya seni itu memiliki keindahan yang luar biasa.
Bruce mengubur kembali patung-patung itu di pasir dan melanjutkan perjalanan. Ia mendokumentasikan lebih banyak situs di seluruh Afrika Utara dan Ethiopia, bahkan mengeklaim penemuan sumber Nil Biru.
Sepeninggal Balugani pada tahun 1770, Bruce kembali ke London pada tahun 1774. Ketika melaporkan temuannya, banyak yang skeptis dan tidak percaya. Tidak percaya dengan reaksi ini, Bruce pensiun dan kembali Skotlandia.
Pada 1780, ia mulai menulis memoar tentang waktunya di Afrika. Karyanya yang terdiri dari lima jilid ini dikenal sebagai “Travels to Discover the Source of the Nile”. Buku itu diterbitkan pada tahun 1790. Ketika Bruce meninggal empat tahun kemudian, sebagian besar masyarakat Inggris masih menolak untuk mengakui prestasinya.
Kemegahan Romawi di Afrika
Setelah kunjungan Bruce, Thamugadi terlupakan di gurun pasir. Baru pada tahun 1875, situs ini dikunjungi oleh Robert Lambert Playfair, konsul Inggris di Aljir. Dalam bukunya tahun 1877, Travels in the Footsteps of Bruce in Algeria and Tunis, Playfair memberi penghormatan kepada pendahulu konsulernya. Ia mengunjungi beberapa situs yang telah direkam Bruce.
Deskripsi Playfair tentang Thamugadi menawarkan lebih banyak detail dibandingkan dengan catatan yang dibuat Bruce. “Pengamatannya mengungkapkan fungsi penting kota yang dibangun di persimpangan enam jalan Romawi,” Montoya menambahkan.
Menurut pendapat Playfair, arsitekturnya lebih cemerlang dari kota tetangga Romawi, Lambaesis, ibu kota militer Nubia. Ia menyimpulkan bahwa Thamugadi adalah pusat kegiatan komersial dan pertanian.
Sama seperti Bruce dan Balugani, Playfair pun dibuat kagum akan keindahan Lengkungan Kemenangan Trajan. Di bawahnya, masih terlihat bekas roda lalu lintas yang melewati kota di sepanjang jalan raya kekaisaran yang sibuk.
Prancis mengambil alih situs tersebut pada tahun 1881 dan mempertahankan keberadaannya di sana hingga tahun 1960. Selama periode tersebut, situs tersebut digali secara sistematis. Setelah terkubur selama berabad-abad di bawah pasir, Thamugadi digali secara keseluruhan.
Krisis yang menyebabkan kejatuhan Thamugadi
Penelitian yang dilakukan oleh Playfair dan sarjana Prancis memungkinkan sejarawan untuk mengumpulkan sejarah kota. Kota ini awalnya bernama Colonia Marciana Trajana Thamurga, untuk menghormati saudara perempuan Kaisar Trajan.
Pada pertengahan abad ketiga Masehi, populasi kota mencapai 15.000. Penduduknya menikmati bangunan umum yang bagus, termasuk perpustakaan yang megah dan total 14 pemandian. Kenyamanan fasilitas Thamugadi dan keberadaan mosaik membuat para sejarawan membandingkan kota ini dengan Pompeii. Thamugadi menjadi manifestasi dari kekuatan Romawi di perbatasan selatan kekaisaran.
Lokasi kota adalah kunci untuk melindungi perbatasan selatan Kekaisaran Romawi. Afrika Utara adalah pusat produksi biji-bijian. Legiun Augustan Ketiga Romawi ditempatkan di Thamugadi untuk melindungi biji-bijian dan pengangkutannya ke Roma.
Beberapa ratus orang akan diberhentikan dari legiun setiap dua tahun dan mereka menetap di Thamugadi. Ini semacam penghargaan atas pelayanan mereka. Kehadiran mantan legiun itu dapat menahan para penyerang.
Namun masa keemasannya tidak bertahan lama. Krisis di perbatasan Romawi memengaruhi Thamugadi.
Setelah dijarah oleh Vandal selama abad kelima, kota mulai tenggelam ke dalam kehancuran. Setelah jatuhnya Kekaisaran Romawi barat, Thamugadi menikmati kebangkitan singkat sebagai pusat Kristen. “Sebuah benteng dibangun di luar kota pada tahun 539,” imbuh Montoya. Namun akhirnya kota ini ditinggalkan saat invasi Arab pada tahun 700-an.
Sejak saat itu, Sahara secara bertahap menutupi Thamugadi dan menyembunyikannya selama seribu tahun. Sampai akhirnya, James Bruce dan yang lainnya menemukan kembali pos Romawi yang terkubur itu. Thamugadi ditetapkan sebagai situs Warisan Dunia UNESCO pada tahun 1982.